Australia Kecam Deportasi

Australia Kecam Deportasi Uighur ke Tiongkok oleh Thailand

Pemerintah Australia mengecam keras tindakan Thailand yang baru-baru ini mendeportasi dua pria etnis Uighur kembali ke Tiongkok. Meskipun adanya risiko bahwa mereka akan menghadapi penindasan atau penganiayaan. Keputusan ini memicu reaksi kuat dari komunitas internasional, dengan Australia sebagai salah satu negara yang menyuarakan penentangannya atas deportasi tersebut. Dianggap melanggar hak asasi manusia. Kejadian ini menambah ketegangan dalam hubungan antara negara-negara yang mendukung hak-hak minoritas dan negara-negara yang lebih condong pada kebijakan luar negeri Tiongkok.

Deportasi yang terjadi pada awal bulan April 2025 ini mengundang kecaman dari berbagai kelompok hak asasi manusia. Berpendapat bahwa tindakan Thailand tersebut berisiko mengancam keselamatan etnis Uighur yang sudah lama berjuang untuk mendapatkan perlindungan dari negara-negara lain. Mengingat kebijakan represif yang diterapkan oleh Pemerintah Tiongkok terhadap komunitas Uighur di wilayah Xinjiang. Banyak pihak khawatir bahwa deportasi ini akan membawa ancaman yang lebih besar bagi keselamatan dua individu tersebut.

Latar Belakang Deportasi dan Reaksi Australia

Pada 5 April 2025, dua pria etnis Uighur yang telah melarikan diri dari Tiongkok tiba di Thailand setelah menempuh perjalanan panjang melintasi beberapa negara. Mereka berusaha untuk mencari suaka dan perlindungan internasional, mengingat ketakutan akan penindasan yang mereka alami di Tiongkok. Namun, Thailand yang memiliki hubungan diplomatik yang erat dengan Beijing, akhirnya memutuskan untuk mendeportasi keduanya.

Pemerintah Australia, melalui Kementerian Luar Negeri, segera mengeluarkan pernyataan yang mengutuk tindakan tersebut. “Kami sangat menyesalkan keputusan Thailand untuk mendeportasi individu-individu ini ke Tiongkok. Kami meminta Thailand untuk mempertimbangkan kembali kebijakan mereka, mengingat potensi ancaman yang mereka hadapi di Tiongkok.” Ujar Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, dalam pernyataannya yang disampaikan kepada media.

Australia secara tegas menekankan bahwa deportasi tersebut berpotensi melanggar hak asasi manusia, dan meminta agar lebih banyak negara yang memperjuangkan hak-hak dasar umat manusia untuk mengutuk tindakan ini. Hal ini menjadi bagian dari upaya Australia untuk mendorong masyarakat internasional, terutama negara-negara besar. Untuk lebih menekan Tiongkok terkait kebijakan yang dianggap mengabaikan hak-hak etnis Uighur dan kelompok minoritas lainnya.

Ketegangan Seputar Perlakuan Terhadap Etnis Uighur di Xinjiang

Masalah terkait etnis Uighur di Xinjiang, Tiongkok, telah menjadi sorotan internasional dalam beberapa tahun terakhir. Laporan-laporan yang diterbitkan oleh organisasi hak asasi manusia menyebutkan adanya praktik-praktik yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Uighur. Termasuk penahanan massal di kamp-kamp pendidikan ulang, pengawasan yang ketat, serta pembatasan kebebasan beragama.

Menurut data yang dihimpun dari berbagai sumber internasional, lebih dari satu juta orang Uighur dan etnis lainnya diperkirakan telah dipaksa masuk ke kamp-kamp tersebut sejak 2017. Para aktivis dan pemerhati internasional menganggap ini sebagai upaya sistematis dari Pemerintah Tiongkok untuk menghancurkan identitas budaya dan agama Uighur. Selain itu, laporan dari PBB dan lembaga internasional lainnya menyebutkan adanya tindakan kekerasan terhadap para wanita Uighur, termasuk sterilisasi paksa, yang makin memperburuk situasi mereka.

Deportasi terhadap individu Uighur ini menambah ketegangan antara negara-negara yang mendukung perlindungan hak asasi manusia dan Tiongkok. Sering kali menyangkal tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa kebijakan di Xinjiang bertujuan untuk menjaga stabilitas sosial dan mengatasi ancaman terorisme.

Komentar dari Kelompok Hak Asasi Manusia

Kelompok hak asasi manusia internasional juga mengkritik keras tindakan Thailand. Human Rights Watch, melalui juru bicaranya, mengungkapkan bahwa deportasi ini bukan hanya akan memperburuk kondisi para korban, tetapi juga melanggar prinsip non-refoulement yang diatur dalam Konvensi Pengungsi 1951, yang melarang pengembalian pengungsi ke negara yang dapat membahayakan mereka.

“Thailand harusnya tahu bahwa dengan mendeportasi mereka ke Tiongkok, mereka mengirimkan orang-orang ini ke tempat di mana mereka berisiko mengalami penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Ini adalah pelanggaran besar terhadap hak asasi manusia,” kata Brad Adams, Direktur Asia Human Rights Watch.

Tindakan Thailand ini juga menunjukkan bagaimana beberapa negara menghadapi dilema dalam mengelola hubungan diplomatik mereka dengan Tiongkok. Banyak negara yang terjebak antara tekanan internasional untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang dan kebutuhan mereka untuk menjaga hubungan baik dengan salah satu ekonomi terbesar di dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *